Monday 1 October 2012

Penyembahan dan Doa yang Benar

Dualisme kehidupan adalah pola agama-agama pada umumnya, bukan pola kehidupan orang percaya. Orang yang menganut dualisme memahami penyembahan sebagai bagian dari liturgi. Padahal sebenarnya tidak demikian. Dalam teks bahasa Yunani menyembah adalah proskuneo (προσκυνέω) yang artinya memberi nilai tinggi. Penyembahannya kepada Tuhan bukan hanya diwujudkan dengan nyanyian dalam gereja, tetapi sikap hati yang permanen dalam memberi nilai tinggi kepada Tuhan lebih dari segala hal. Hal ini sifatnya batiniah, artinya berangkat dari sikap hati kemudian terekspresi dalam perbuatan konkrit. Manifestasi dari sikap hati seperti ini pasti terwujud dalam seluruh tindakan hidupnya. Hendaknya kita tidak berpikir kalau sudah mengucapkan kata “haleluyah”, terpujilah Tuhan atau Allah Maha Besar berarti sudah menyembah Allah. Sama seperti pujian dan penghormatan seseorang kepada sesama seharusnya berangkat dari hati yang mengakui nilai yang ada dalam diri sesamanya tersebut, demikian pula terhadap Tuhan. Pujian kepada manusia bisa dilontarkan dengan bibir tetapi isi hati si pemuji tidak diketahui oleh yang dipuji. Tidaklah demikian dengan Tuhan. Tuhan tahu isi hati kita. Pujian dan penyembahan yang tidak disertai dengan sikap hati yang memberi nilai tinggi bagi Tuhan adalah pelecehan bagi-Nya.

Orang Kristen yang dewasa akan mempersembahkan pujian dan penyemba­han dalam sikap dan tindakan konkrit setiap hari, yaitu cara dia bersikap terhadap dunia ini. Itulah nyanyian kehidupan yang memuat pujian dan penyembahan yang berbau harum di hadapan Tuhan. Demikian pula dengan hal berdoa. Berdoa kepada Tuhan adalah dialog yang berlangsung setiap saat tanpa henti, karena Roh Kudus diam di dalam diri kita. Itu berarti orang Kristen tidak membutuhkan kiblat, tidak membutuhkan tatacara sembahyang atau berdoa, tidak perlu menggunakan bahasa khusus dan berbagai atribut untuk menghadap Tuhan. Tidak ada jam-jam tertentu di mana Allah dapat dijumpai atau menjadi “prime time” untuk bertemu dengan Tuhan. Setiap saat adalah saat “prime time”. Dalam hal ini juga tidak ada hari-hari tertentu yang dianggap lebih dari hari yang lain untuk mengadakan liturgi. Setiap hari adalah harinya Tuhan. Lagi pula umat Perjanjian Baru yang dewasa, tidak lagi menganggap perlu ada hari raya yang harus dirayakan besar-besaran. Perayaan bagi Tuhan haruslah diselenggarakan setiap hari, bukan dengan hanya dengan liturgi dalam gereja tetapi dengan sikap hati yang menghormati Tuhan dan hal itu terekspresi dalam perbuatan konkrit setiap hari. Inilah perayaan yang Tuhan kehendaki. Tentu hal itu menyukakan hati-Nya.

Penyembahan kepada Tuhan diwujudkan dengan sikap hati yang permanen dalam memberi nilai tinggi Tuhan melebihi dari segala hal.

No comments:

Post a Comment