Sunday 7 October 2012

Konsep Allah Yang Baik

Banyak orang memiliki konsep mengenai Allah yang baik menurut versinya sendiri. Mereka merasakan bahwa Allah itu baik hanya dengan bukti bahwa hidupnya tidak bermasalah, berlimpah materi, terhormat, sehat, sukses dan lain sebagainya. Demikianlah konsep dan pola pikir banyak orang Kristen hari ini. Itulah sebabnya banyak gereja dan pendeta menawarkan jasa menggunakan kebaikan Allah untuk mencapai hal-hal tersebut. Jika pemahaman Allah yang baik demikian saja, maka berarti belum mengenal Allah dengan benar. Ini juga berarti ia masih memburu kesukaan dan kemuliaan manusia, bukan kemuliaan dan kesukaan Allah. Sangat besar kemungkinan Ayub masih memiliki konsep ini. Mari kita perhatikan Ayub 42:2, setelah Ayiub mengalami “prahara” yang dahsyat dalam hidupnya, maka barulah Ayub bisa berkata: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal”. Rencana Tuhan adalah kebaikan Tuhan yang tiada tara. Rencana Tuhan tidak pernah gagal. Di dalamnya terdapat kemuliaan bagi Allah dan kesukaan hati-Nya, dan Tuhan hendak menyatakannya bagi kekasih-kekasih-Nya. Demi penggenapan rencana-Nya, Tuhan harus menggagalkan rencana-rencana Ayub atau merusak keadaan Ayub yang sudah dinilai baik oleh manusia atau oleh Ayub sendiri. Tuhan merusak cita-cita dan keadaan nyaman Ayub.

Kasus ini sama dengan peristiwa Natal atau apa yang dialami oleh Maria, Bunda Yesus. Demi rencana keselamatan Allah, maka Allah Bapa menggagalkan rencana Maria. Masa depan dan cita-cita Maria menjadi berantakan dengan kehamilannya. Betapa menderitanya Maria memikul tanggung jawab dan beban tersebut. Tetapi melalui penurutan Maria maka rencana Allah dipenuhi atau digenapi, yakni rencana akbar dan terbaik Allah bagi seluruh umat manusia. Dalam hal ini kita baru bisa mengerti apa yang dimaksud dengan “rela kehilangan nyawa (Mat. 10:39). Kata nyawa disini adalah jiwa yang dalam teks aslinya adalah psuke (ψυχή). Dalam jiwa ada keinginan dan hasrat. Ingat barang siapa ikut Yesus harus menanggalkan hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5:24). Inilah penyangkalan diri yang benar. Penyangkalan diri bukan hanya sikap penolakan terhadap perbuatan-perbuatan yang dikategori sebagai dosa, tetapi kesediaan untuk tidak mengenakan naluri kemanusian atau hasrat manusia pada umumnya. Ini berarti seorang yang rela kehilangan nyawa rela kehilangan segala kesenangan yang dinikmati oleh manusia pada umumnya demi apa yang lebih baik yang Allah Bapa sediakan bagi orang percaya yaitu kemuliaan bersama dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:17).

Jika pemahaman Allah yang baik hanya untuk berkat jasmani, maka berarti kita belum mengenal Allah dengan benar.

No comments:

Post a Comment