Kesederhanaan sikap hati akan terpancar pada perlakuan terhadap orang
yang bersalah atau berdosa. Ia akan menyambut orang berdosa dengan sikap
seakan-akan orang tersebut tidak bersalah. Hal ini bukan sebagai bentuk
kompromi dan permisif terhadap kesalahan atau dosa, tetapi sikap turut
sepenanggungan dalam kejatuhan atau kesalahan yang orang lain lakukan.
Perlu dicatat di sini bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang merancang
dan bercita-cita menjadi rusak atau berdosa. Kuasa jahatlah yang
menggiringnya masuk dalam jebakannya. Penolakan terhadap mereka
seakan-akan mereka bukan manusia yang martabatnya tidak bisa diperbaiki
lagi, ini akan mengakibatkan orang berdosa hilang untuk selamanya.
Perhatikan bagaimana Tuhan Yesus menyambut perempuan yang kedapatan
berjinah (Yoh. 8:2-11). Ia tidak menghukum, Ia memberi kesempatan
perempuan itu untuk memperbaiki diri. Hal lain yang sangat menakjubkan
yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah penerimaan-Nya terhadap Yudas si
pencuri dan pengkhianat. Tuhan Yesus tahu bahwa Yudas sering melakukan
pencurian uang kas yang dipercayakan kepadanya. Tetapi begitu panjang
sabarnya Tuhan memberi kesempatan Yudas untuk bertobat dan memperbaiki
diri. Sampai akhirnya Yudas menempatkan dirinya di tiang gantungan. Juga
ketika Petrus sudah berkhianat, Tuhan tidak mempersoalkan pengkhianatan
Petrus. Tetapi Ia masih berurusan dengan Petrus dan mempertanyakan
apakah Petrus masih mengasihi-Nya (Yoh. 21).
Dalam hal ini kita menemukan, kesucian Tuhan Yesus dan moralitas-Nya yang tinggi tidak menyakitkan orang lain. Ia tidak memaksakan “baju” yang dikenakan di badan orang lain, walau tentu saja Ia berharap suatu hari nanti mereka akan dapat mengenakan “baju” yang juga dikenakan-Nya. Melatih hal ini bukan sesuatu yang mudah, tetapi sangat sukar. Mengapa? Sebab pada dasarnya naluri manusia berdosa adalah naluri menghakimi, menghukum dan membalas. Jarang manusia memiliki kesabaran menerima orang lain dalam kesalahan dan kekurangannya. Biasanya orang menghendaki kesalahan dan kekurangannya sendiri dimengerti dan diterima oleh orang lain, tetapi ia tidak mau mengerti dan menerima kesalahan dan kekurangan orang lain. Menerima orang lain dalam seluruh keberadaannya akan melukai diri sendiri. Kalau hal ini dilatih atau dibiasakan, maka Tuhan akan mengimpartasikan perasaan-Nya. Harus dimengerti bahwa memiliki sikap hati yang sederhana harus melalui proses dan pelatihan, bukan sesuatu yang bisa tumbuh sendiri secara otomatis. Kesediaan melatih diri berarti kesediaan untuk memasuki proses keselamatan; dan berusaha menjadi seperti Tuhan Yesus.
Kesederhanaan berarti memiliki kesabaran menerima orang lain dalam kesalahan dan kekurangannya.
Dalam hal ini kita menemukan, kesucian Tuhan Yesus dan moralitas-Nya yang tinggi tidak menyakitkan orang lain. Ia tidak memaksakan “baju” yang dikenakan di badan orang lain, walau tentu saja Ia berharap suatu hari nanti mereka akan dapat mengenakan “baju” yang juga dikenakan-Nya. Melatih hal ini bukan sesuatu yang mudah, tetapi sangat sukar. Mengapa? Sebab pada dasarnya naluri manusia berdosa adalah naluri menghakimi, menghukum dan membalas. Jarang manusia memiliki kesabaran menerima orang lain dalam kesalahan dan kekurangannya. Biasanya orang menghendaki kesalahan dan kekurangannya sendiri dimengerti dan diterima oleh orang lain, tetapi ia tidak mau mengerti dan menerima kesalahan dan kekurangan orang lain. Menerima orang lain dalam seluruh keberadaannya akan melukai diri sendiri. Kalau hal ini dilatih atau dibiasakan, maka Tuhan akan mengimpartasikan perasaan-Nya. Harus dimengerti bahwa memiliki sikap hati yang sederhana harus melalui proses dan pelatihan, bukan sesuatu yang bisa tumbuh sendiri secara otomatis. Kesediaan melatih diri berarti kesediaan untuk memasuki proses keselamatan; dan berusaha menjadi seperti Tuhan Yesus.
Kesederhanaan berarti memiliki kesabaran menerima orang lain dalam kesalahan dan kekurangannya.
No comments:
Post a Comment