Wednesday 7 November 2012

Investasi Kehidupan

Bagaimana proses membunuh keinginan diri sendiri bisa berlangsung dengan baik dalam diri seseorang? Menghayati bahwa kita sedang ada di perjalanan menuju suatu tujuan yaitu Kerajaan Tuhan Yesus di langit baru dan bumi yang baru, maka kita akan lebih mudah melakukannya. Harus menghayati dengan kuat bahwa kita adalah musafir-musafir di dunia ini. Perjalanan hidup di dunia ini ibarat suatu perjalanan di sebuah jembatan. Hendaknya tidak membangun rumah di atas jembatan atau berhenti di tengah jembatan. Betapa menyesalnya seseorang ketika ada di kekekalan, menoleh ke belakang di tahun-tahun selama hidup di dunia telah terbelenggu oleh segala keinginan sehingga tidak mengumpulkan harta di Sorga (Mat. 6:19-20). Harta di Sorga merupakan sikap hati yang menyukakan hati Allah Bapa. Keinginan-keinginan tersebut telah menggerakkan seseorang menjalani hidup dan menghasilkan banyak hal, yang akhirnya harus dilepaskan untuk selamanya. Sungguh sia-sia. Padahal investasi waktu, tenaga dan pikiran untuk banyak hal tersebut adalah nilai yang sebenarnya tidak tehingga, yang seharusnya digunakan untuk mengumpulkan harta di Sorga. Nilai yang tidak terhingga ditukar dengan barang dunia fana dan kehormatan manusia yang lenyap dalam sekejap.

Kalau menyaksikan kelompok petapa yang meninggalkan kesenangan dunia, dan hidup dalam kesederhanaan bahkan kemiskinan, mereka dipandang begitu malang. Bahkan mereka dianggap sebagai konyol. Tetapi sebenarnya mereka bisa menjadi orang beruntung, sebab tidak menyia-nyiakan hidup yang singkat di dunia ini untuk berbagai kesenangan yang melukai hati Tuhan dan sesama. Mereka memilih apa yang terbaik yang tidak pernah disesali. Ini bukan berarti mereka sudah sempurna dan ada di jalan Tuhan yang benar, tetapi paling tidak mereka memperkecil kemungkinan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Kalau hidup mereka didedikasikan untuk kegiatan sosial seperti yang kita lihat dalam kehidupan sebagian para biku, maka mereka sedang mengumpulkan harta di dunia yang akan datang. Mereka bukan orang-orang malang, sebaliknya mereka adalah orang-orang yang beruntung. Hal ini dikemukakan bukan bermaksud menganjurkan orang percaya menjadi seperti mereka. Tetapi sejatinya atau seharusnya kita menjadi orang yang mirip mereka. Hanya bedanya kita masih hidup ditengah-tengah keramaian, hidup di tengah-tengah masyarakat. Kita masih memiliki keluarga atau menikah. Kita masih bekerja dan berkarir. Tetapi kita tidak lagi menikmati semua keberadaan tersebut sebagai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana agar kita berguna bagi sesama (Flp. 1:21-22), dan dapat membantu mereka untuk mengenal hidup.

Investasikan pikiran, waktu, tenaga dan semua fasilitas yg ada untuk kekekalan.

No comments:

Post a Comment