Hidup dalam kesederhanaan sering dipahami secara keliru. Hidup dalam
kesederhaan berarti tidak boleh memakai perhiasan, pakaian dan fasilitas
hidup lain yang mahal harganya. Kesederhanaan diartikan sama atau dekat
dengan “kemiskinan”. Itulah sebabnya dalam sejarah gereja ada ajaran
yang mengajarkan semangat kemiskinan. Jemaat tidak boleh memiliki
kekayaan, harus berpakaian compang-camping bahkan sengaja menjadi
pengemis. Ini bukan berarti seseorang menjadi sembrono dalam penampilan
lahiriahnya. Harus bisa membedakan antara berpenampilan baik untuk
menjadi berkat dengan berpenampilan untuk memperoleh penilaian dari
sesama. Kesederhaan tidak diukur dengan hal-hal fisik atau lahiriah,
walau tentu kesederhanaan yang tulus dan murni pasti mempengaruhi
penampilan lahiriah. Sejatinya, kesederhanaan dimulai dari sikap hati
yang tidak mencari hormat atau penilaian manusia. Tanpa disadari,
manusia digerakkan oleh gairah untuk dihargai, dihormati dan dinilai
baik oleh lingkungannya, sampai taraf mendapat pujian dan sanjungan.
Gairah ini sudah melekat kuat dan nyaris tidak bisa dilepaskan kalau
tidak sungguh-sungguh belajar melepaskannya. Gairah ini dan
manifestasinya sudah dianggap sebagai sesuatu yang normal, kewajaran dan
bahkan kebanggaan. Betapa miskinnya mental seperti ini, sebab mestinya
yang berharga adalah manusia batiniahnya bukan lahiriahnya (2 Kor.
4:16).
Manusia dalam asuhan Lusifer yang jatuh, telah memiliki irama yang salah tersebut. Hal ini bukan hanya ada di lingkungan jemaat, tetapi juga di lingkungan para pemimpin gereja, yang berlomba memperebutkan kedudukan ketua sinode, ketua majelis dan berbagai jabatan lain di dalam gereja. Sungguh sangat memalukan. Pada dasarnya mereka bukan anak-anak Tuhan, sebab anak-anak Tuhan akan berkarakter seperti Tuhan (Flp. 2:5-7). Orang yang memiliki sikap hati yang sederhana tidak pernah merasa dirinya berharga dengan fasilitas yang menempel di tubuhnya, kendaraan rumah dan segala hal yang ada padanya. Manusia di sekitarnya bisa menghormati tetapi ia tidak merasa bahwa hal itu merupakan nilai lebih dalam hidupnya. Mengapa bisa demikian? Sebab ia mencari hormat dari Allah. Tuhan Yesus menyatakan, bagaimana seseorang bisa percaya kalau masih mencari hormat satu dengan yang lain? (Yoh. 5:44). Teladan yang paling kuat mengenai kesederhaan ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Tidak ada yang disisakan untuk memperoleh kehormatan. Ia mengosongkan diri, termasuk hak untuk diperlakukan wajar. Ia bukan saja tidak diperlakukan sebagai Penguasa Tinggi, bahkan ia tidak diperlakukan sebagai manusia biasa. Kesederhanaan Tuhan Yesus itulah kemuliaan-Nya.
Kesederhanaan dimulai dari sikap hati yang tidak mencari hormat atau penilaian manusia.
Manusia dalam asuhan Lusifer yang jatuh, telah memiliki irama yang salah tersebut. Hal ini bukan hanya ada di lingkungan jemaat, tetapi juga di lingkungan para pemimpin gereja, yang berlomba memperebutkan kedudukan ketua sinode, ketua majelis dan berbagai jabatan lain di dalam gereja. Sungguh sangat memalukan. Pada dasarnya mereka bukan anak-anak Tuhan, sebab anak-anak Tuhan akan berkarakter seperti Tuhan (Flp. 2:5-7). Orang yang memiliki sikap hati yang sederhana tidak pernah merasa dirinya berharga dengan fasilitas yang menempel di tubuhnya, kendaraan rumah dan segala hal yang ada padanya. Manusia di sekitarnya bisa menghormati tetapi ia tidak merasa bahwa hal itu merupakan nilai lebih dalam hidupnya. Mengapa bisa demikian? Sebab ia mencari hormat dari Allah. Tuhan Yesus menyatakan, bagaimana seseorang bisa percaya kalau masih mencari hormat satu dengan yang lain? (Yoh. 5:44). Teladan yang paling kuat mengenai kesederhaan ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Tidak ada yang disisakan untuk memperoleh kehormatan. Ia mengosongkan diri, termasuk hak untuk diperlakukan wajar. Ia bukan saja tidak diperlakukan sebagai Penguasa Tinggi, bahkan ia tidak diperlakukan sebagai manusia biasa. Kesederhanaan Tuhan Yesus itulah kemuliaan-Nya.
Kesederhanaan dimulai dari sikap hati yang tidak mencari hormat atau penilaian manusia.
No comments:
Post a Comment