Wednesday 20 June 2012

Memikul Beban Orang Lain

Untuk bisa memandang manusia di sekitar kita seperti Allah ­memandang, ­sehingga bisa mengasihi mereka sesuai dengan kehendak Allah. Kita ­harus ­mengenakan belas kasihan Tuhan atas mereka. Belas kasihan yang kita ­kenakan ­bukanlah perasaan sentimentil manusiawi, tetapi belas kasihan Tuhan. ­Bagaimana kita ­bisa mengenakan belas kasihan Tuhan? Pertama kita harus menghayati bagaimana Tuhan telah memberikan belas kasihan-Nya kepada kita. ­Bagaimana kita bisa ­mengerti bahwa kita menerima belas kasihan-Nya? Kalau kita ­mengerti ­kekudusan Allah yang hebat, kasih dan pengorbanan-Nya yang luar ­biasa, ­sementara kita ­betapa rusak dan hinanya. Hal ini bisa dialami dan dihayati ­kalau ­seseorang mengerti ­kebenaran ­Firman Tuhan. Jadi, kalau seseorang tidak memiliki ­pemahaman yang cukup terhadap kebenaran Firman-Nya,  tidak akan memahami belas kasihan Tuhan. Dengan demikian sulitlah seseorang ­untuk menaruh belas kasihan kepada orang lain dengan belas kasihan Allah. Kasihnya ­kepada orang lain dan kepada ­Tuhan sangat terbatas.

Seperti Tuhan memberi pengampunan kepada kita, maka kita juga ­harus ­mengampuni orang lain, demikian pula sebagaimana kita telah menerima ­belas ­kasihan dari Tuhan, maka patutlah kita juga memberi belas kasihan kepada orang lain. Hal ini sangat penting, sehingga dalam Doa Bapa Kami hal ­mengampuni ­sesama menjadi landasan pengampunan dari Tuhan. Seseorang tidak akan ­menerima pengampunan kalau tidak mengampuni sesamanya. Seorang harus ­mengalami nilai pengampunan dari Tuhan baru bisa mengampuni sesamanya ­dengan benar, ­demikian pula seseorang harus mengalami dan menghayati belas ­kasihan Tuhan barulah bisa membelas kasihani orang lain. Sehingga hal ­mengampuni sesama dan membelas ­kasihan orang lain adalah irama hidup yang tidak perlu dipaksakan ­untuk dilakukan. Membelas kasihani orang lain adalah kebutuhan bukan sebagai kewajiban, sehingga kita bisa menikmatinya. Seperti seorang anak gadis remaja usia 13 tahun menggendong adiknya yang cacat sudah usia 5 tahun di ­punggungnya. ­Ketika orang bertanya apakah ia tidak kelelahan menggendong adiknya yang ­sudah besar dan ­berat, ia mengatakan tidak berat sebab ia menikmatinya. Anak ­gadis ini tahu apa yang dilakukan itu, selain meringankan penderitaan adiknya juga ­menyenangkan orang tuanya. Baginya menggendong adiknya bukan ­sebagai ­kewajiban tetapi ­sebagai kebutuhan jiwanya. Hal ini sama dengan sikap kita ­terhadap orang lain yang harus dibelaskasihani.

Membagi kasih merupakan kebutuhan, bukan kewajiban.

No comments:

Post a Comment